Ternyata Aku Paling Tua Sendiri

Waktu itu, selesai menunaikan sholat Jum’at, seperti biasanya kakekku mampir ke rumah. Kala itu kakek sedang berbincang dengan bapak dan aku pun ikut nimbrung karena kurasa obrolan mereka cukup menarik. Ya, mereka berdua memperbincangkan masalah remaja saat ini yang bisa dibilang cukup mengerikan. Entah kata apa yang tepat untuk menggambarkannya. Mereka berdua terlihat serius sekali hingga memancingku untuk menyimakknya dan berharap memetik ilmu darinya. Banyak hal yang mereka bahas. Kerap kali ku terkagum dengan hubungan kakek dan bapak, hubungan menantu dan mertua yang sangat akrab dan harmonis. Karakter keduanya pun bisa kubilang mirip. Sama-sama tegas. Menjadikanku bahagia karena aku Alloh Ta’ala Memberiku mahrom seperti mereka. Alhamdulillaahilladziy bini’matihi tatimmushshoolihaat.

Yang menjadikan aku sangat terkesan dengan obrolan kakek dan bapak kala itu, ketika kakek mengingatkanku bahwa aku adalah yang tertua di antara adik-adikku dan sepupuku. Ah, aku seolah baru tersadar. Layaknya pemimpi yang baru saja terjaga dari tidur panjangnya. Ya, aku selama ini sepertinya terlupa bahwa aku adalah tertua di antara adik-adikku dan sepupuku. Tentunya tidak cukup pengakuan itu. Tanggung jawabku cukup besar untuk membimbing adik-adikku dan sepupuku ke jalan Alloh Ta’ala, jalan yang haq. Apalagi pergaulan remaja saat ini sangat-sangat mengerikan. Kakek dan bapak pun menaruh harpan besar padaku. Aku fahami itu. Tapi dalam hati, aku malu. Aku merasa tak pantas menjadi tertua di antara mereka. Aku si faqir ilmu dan amal ini terasa tak pantas membimbing mereka, di samping itu hati ini juga lemah dan fitnah syubhat dan syahawat pun menyambar-nyambar. Itulah kenapa aku tak henti-hentinya meminta kepada ibu, bapak dan kakek, nenek supaya berdo’a kepada Alloh Ta’ala agar memenuhi dada kami dengan keimanan sehingga kita bisa tegak di atas al haq dan tak terjerumus kepada al bathil.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Bidadariku Anisa

Judul di atas adalah judul sebuah buku, bukan untuk judul tulisanku ini, jadi jangan tertipu hehe. Baiklah, aku ceritakan kisahnya aku mendapatkan buku itu.

Siang tadi, tatkala matahari sedang terik-teriknya, terdengar suara  ucapan salam dari depan rumahku. Suara seorang gadis. “Siapa ya?” pikirku. Kujawab salamnya dan kubuka pintu rumah. Maa syaa Alloh, ternyata si Nisa. Nama lengkapnya Annisa Salsabila Ramadhani ^^. Sedikit kuperkenalkan tentangnya. 3 tahun lalu aku mulai mengenal gadis yang baru saja menginjak kelas 6 SD itu. Banyak hal yang telah kulalui dengannya di tiap bilangan waktu. Ia pun sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Ya, Nisa, gadis yang kerap membuat emosiku seolah berirama. Gadis yang selalunya membuatku memeras pikiranku untuk mengambil hikmah dari apa-apa yang telah kulalui dengannya. Darinya aku belajar arti kesabaran, kebijaksanaan, perhatian, kebutuhan akan kasih sayang, dan banyak lagi. Meski ku kerap dibuat kesal karena tingkahnya, tapi kuakui, di setiap episode hidupnya, banyak yang bisa kuambil hikmah. Alhamdulillaah, Alloh Ta’ala menghendakiku untuk mengenalnya dan mengisi jalan hidupku. Sungguh anugerah yang luar biasa bisa mengenal gadis sepertinya yang mengajarkanku banyak hal.

Kerap juga aku membuatnya menangis tatkala maksud hatiku ingin menasihatinya namun sang lisan tak bisa menterjemahkannya dengan sempurna. Maksudku menasihati, tapi ia menterjemahkannya aku marah. Kerap sekali. Astaghfirullaah. Tapi alhamdulillaah, suasana seperti itu tak berlangsung lama.

Baik, kembali ke cerita awal. Tiba-tiba setelah kubukakan pintu, ia langsung menyodorkan sebuah bungkusan rapi dengan kertas kado motif batik. Dari bentuknya, aku sudah menduga apa yang ada di dalamnya. Gadis itu memang kerap sekali membuatku speechless karena kejutan demi kejutan kerap ia berikan padaku. Entah berapa hadiah yang telah ia berikan padaku. Dan dugaanku benar. Bungkusan yang ia berikan tadi setelah kubuka, tenyata di dalamnya adalah sebuah buku dengan judul yang menyangkut namanya, Bidadariku Anisa. Aku juga ingin katakan pada gadis itu, bahwa judul buku itu senada dengan gemuruh hatiku kepadanya. Tetapi gadis itu terburu-buru pergi meninggalkan rumahku setelah kami berbincang sebentar tentang rapotnya. Aku faham, ia memang jarang main di luar rumahnya terlalu lama. Aktifitas sehari-harinya banyak ia habiskan di sekolahnya, madrasah ngajinya, dan rumahnya. Ia jarang main sebagaimana aku dulu ketika seusianya.

Hadiah yang sangat berkesan itu, segera kusampul rapi. Akan selalu terkenang tentunya tiap kali aku membaca buku itu. Teringat akan gadis lucu yang pernah ku membersamainya dalam perjalanan hidupnya. Seorang gadis yang bisa jadi nantinya kutangisi kepergiannya ‘). Asykuruki katsiir, yaa ukhtayya Annisa Salsabila Ramadhani. Jazaakillaahu kher. Uhibbuki fillaah.

 

Bintu Abi Ja’far

29 Rojab 1433 H/18 Juni 2012

Bumi Alloh

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Ayah

Ayah..

Bahasa cintamu sungguh berbeda.

Engkau tak banyak mengalirkan kata-kata layaknya wanita.

Namun aku tahu, dari guratan wajahmu, dapat kubaca bahwa engkau sangat menyayangiku. Bahasa cintamu sungguh unik, wahai ayah. Meski begitu, aku dapat mengetahuinya, kendati engkau menyembunyikannya.

Ayah..

Darimu aku banyak belajar. Belajar akan hidup, belajar bagaimana menjadi manusia yang sejati, belajar ketegasan dalam berprinsip, belajar bagaimana saat masalah menghadang agar tetap setegar batu karang. Banyak hal yang bisa kupetik darimu wahai ayah. Engkau memang tak banyak berkata-kata padaku, tak banyak memuji diriku di hadapanku, tapi itulah ciri khasmu, mendidikku bukan dengan kata-kata, namun dengan sikapmu. Talk less, do more, itulah karaktermu dalam penilaianku wahai ayah. Tapi justru itulah yang membuatku terkesan. Memang tak seharusnya dalam hidup ini kita hanya mengobral kata-kata. Apalah arti banyak berucap namun minim dalam bersikap?

Tak kenal lelah, itu juga satu dari sekian ciri khasmu dalam mendidikku. Aku sadari wahai ayah, tak terhitung berapa kali aku berkeluh kesah kepadamu saat masalah menyerangku. Tapi engkau tetap tenang dan sabar dalam menghadapiku, menyandingiku untuk menelesaikan masalah demi masalah. Maa syaa Alloh. Meski engkau kelihatannya tenang, tapi aku  mampu membaca dari guratan wajahmu, bahwa engkau tak henti memikirkanku jika masalah yang kuhadapi belum berpulang ke tempat aslinya. Itu bisa kulihat juga dari gerak-gerikmu yang tak lelah menengokku di tempat dimana aku terbisa menyendiri. Engkau tak jemu untuk berkali-kali menanyakan keadaanku hingga muram di wajahku tergantikan dengan riang.

Pernah suatu kali wahai ayah, aku berburuk sangka kepadamu. Saat engkau tak menuruti keinginan yang baik di mataku. Pikiran buruk tentangmu, bergelayut di pikiranku. Layaknya anak kecil yang tak henti merengek hingga keinginannya dituruti, begitulah kiranya aku saat itu. Tapi Allah Jalla wa ‘Alaa tak menghentikanku di fase itu. Dia ingin agar aku berusaha lebih baik. Ilmu-Nya pun tersampai padaku melalui para penyambung lidah ulama’. Alhamdulillaah.

Ketahuilah wahai ayah, saat kesadaran itu memenuhi dadaku, tak mampu kubendung derai air mata di pipi hingga jatuh ke pangkuanku. Layaknya orang yang baru saja terjaga dari tidur panjangnya, ia tersadar bahwa ia berada di kehidupan nyata di mana ia harus berusaha menjadi lebih baik. Begitu pula diri ini wahai ayah. Tersadarku bahwa selama ini aku hanyalah menggoreskan luka demi luka di hatimu. Belum bisa aku dikatakan sebagai anak yang berbakti. Padahal bakti baik saja tidak akan pernah mampu membalas semua jasamu selama ini kepadaku, apatah lagi jika masih kuselipi dengan perangai buruk terhadapmu wahai ayah? Subhaanalloh.

Ayah.. aku akan berusaha untuk senantiasa berbuat baik kepadamu meski hati ini kerap lalai. Semoga Allah meneguhkan hati ini di atas kebenaran hingga senantiasa tersadar untuk melakukan kebaikan. Ayah, semoga Allah Ta’ala mempertemukan kita di atas aqidah dan manhaj yang haq serta mengumpulkan kita di Jannah-Nya. Aamiin yaa mujiibassaailiin.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Sulitnya Membuat Bunda Tersenyum

Ibunda.. sebenarnya pena ini terlalu kelu untuk menorehkan setetes tinta yang bersinggungan dengan namanya. Rasa malu, haru, dan merasa bersalah beraduk menjadi satu di dalam diri. Jangankan membuatnya senantiasa bahagia dan tersenyum, menghindari dari perbuatan yang menorehkan kesedihannya pun diri ini belum sanggup.

Di hati, ada keinginan untuk melakukan yang terbaik dan membahagiakan dirinya. Namun ternyata tak mudah untuk merealisasikannya dalam praktik kehidupan nyata. Tak sedikit hambatan yang hadir menghalangi terwujudnya bakti yang sempurna pada ibunda. Apakah hambatan-hambatan itu?

 

MINUS ILMU

Ini hambatan terbanyak yang menyebabkan seseorang tidak berbakti kepada orang tua. Tanpa ilmu, seseorang sangat sulit untuk berbuat baik secara benar kepada orang tua. Boleh jadi ia berbuat durhaka kepada orang tua atau jika ia berusaha berbakti, ia salah dalam berbuat bakti. Kenpa bisa demikian?

  1. Tak tahu bagaimana berbakti

Tanpa bekal ilmu agama, seseorang tak mengetahui agungnya nilai bakti kepada orang tua terutama ibunda. Ia tak paham bahwa Allah Ta’ala telah menggandengkan perintah bertauhid dengan ajaan berbakti kepada orang tua. Diantaranya adalah,

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kam hanya menyembah kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu napakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al Isra’: 23)

Ada setumpuk dalil Al Qur’an dan Hadits yang menganjurkan berbakti kepadanya, tak mungkin diketahui tanpa ilmu agama.

  1. Tak tahu bahaya durhaka

Di sisi yang lain, tanpa ilmu, seseorang juga tidak mengetahui haramnya durhaka kepada orang tua. Demikian pula ancaman dan azab yang disediakan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang melakukan ‘uququl walidain’ (durhaka kepada orang tua).

 

TAK TAHU CARA BERBAKTI

Banyak juga ditemukan anak yang berusaha berbakti kepada orang tua. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan hartanya untuk taat. Namu sayang, karena tanpa dibekali ilmu pengetahuan yang cukup seseorang tdak bisa berbakti dengan benar. Misalnya, orang tua memerintahkannya untuk melakukan sesaji kepada tempat keramat, atau ngalap berkah ke kubur para wali. Perbuatan ini merupakan maksiat sehingga jika seorang anak melakukannya dengan alasan berbakti maka tidak bisa dibenarkan. Atau banyak orang yang berusaha berbakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia dengan cara membangun kuburan orang tua, dihiasi dan diberi lampu. Padahal perbuatan yang demikian dilarang oleh syariat Islam.

 

ORANG TUA BERMAKSIAT

Keadaan orang tua yang masih bergelimang dengan maksiat atau bahkan kekafiran seringkali dianggap sebagai penghalang berbuat baik kepadanya. Ya, hal ini memang sangat mengganjal.

Di satu ayat, Allah juga berfirman,

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetaahuanmu tentng itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik..” (Luqman: 15)

Dalam kondisi orang tua yang kafir, Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan seorang anak untuk bergaul dengan baik pada ortu. Secara logis, orang tua yang masih dalam kondisi Muslim lebih layak lagi untuk diberikan bakti. Orang tua bermaksiat? Bukanlah alasan untuk durhaka padanya. Taat kepadanya dam hal kebaikan adalah sesuatu yang bernilai harus. Ementara dalam hal-hal kemaksiatan, kita dilarang untuk taat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tiada ketaatan untuk kemaksiatan. Ketaatan hanya berlaku dalam kebajikan.” (HR Bukhari-Muslim)

Kemaksiatan orang tua, sebenarnya merupakan peluang untuk mereguk pahala berbakti dalam bentuk yang lain. Yaitu dengan mendakwahi keduanya dengan cara-cara terbaik. Kesantunan adalah sesuatu yang mesti dimiliki dalam mendakwahi orang tua. Karena Allah Ta’ala melarang seorang anak untuk mengucapkan sesuatu yang menyakiti orang tua, dengan sekecil apapun.

 

SALAH PENDIDIKAN

Salah pendidikan juga menghalangi seseorang untuk berbakti dengan benar kepada orang tua. Yang dimaksud adalah seseorang mengenyam pola pikir tertentu yang menyebabkan ia durhaka. Entah pola pikir barat yang serba bebas atau bisa juga terperangkap pemikirn aliran sesat. Karena belajar pada salah salah satu kelompok yang mengadopsi pemikiran khawarij, seseorang dengan mudah memvonis kafir pada orang tuanya. Bisa juga kedurhakaan diawali karena seorang anak dibiasakan manja dari kecil. Sehingga akhirnya berbuah kedurhaaan di kemudian hari.

 

Dikutip dari majalah Elfata edisi 11 Volume 06 tahun 2006, hal 16-17 by Abdurrazaq

 

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Awas! Berbakti yang Kurang Berarti

Larangan durhaka kepada orang tua pun banyak disebutkan setelah larangan mempersekutukan Allah Ta’ala. Karena agungnya amal shalih ini, jangan sampai kita terjebak dalam suatu keadaan yang seakan-akan kita telah mengamalkannya dengan sebaik-baiknya namun ternyata tidak demikian. Ada beberapa hal yang perlu kita waspadai saat kita mengamalkan bakti kepada orang tua. Ini semua agar amal bakti kita kepada orang tua benar-benar merupakan amal yang lurus. Beberapa hal yang perlu kita waspadai itu adalah sebagai berikut:

 

TIDAK IKHLAS

Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Jika tidak didasari ikhlas karena Allah Ta’ala, amal ibadah apa pun akan tertolak, sehingga tidak bermanfaat bagi pelakunya.

Sebagaimana telah kita ketahui dan disinggung di atas, berbakti kepada orang tua merupakan amal shalih yang besar. Karena itu, rugi besar jika amal shalih yang demikian besar terhapus karena ketidak ikhlasan.

Berbuat baik kepada orang tua dengan mengharapkan sesuatu dari orang tua adalah salah satu bentuk tidak ikhlas dalam birrul walidain. Saat menginginkan sesuatu namun tak ada uang di saku, tiba-tiba seorang anak jadi rajin membantu orang tuanya. Pekerjaan rumah yang biasanya tidak ia kerjakan tiba-tiba saja ia kerjakan. Orang tua yang kelelahan karena bekerja diperhatikan dengan baik. Dalam hatinya, ia berpikir tentu orang tua akan mudah mengabulkan permintaannya jika ia berbuat baik dulu terhadap orang tua. Kewajiban birrul walidain  tidak terlintas sama sekali di hatinya, pahala dari Allah Ta’ala tidak terngiang sama sekali di telinganya. Yang penting nanti permintaannya jadi dikabulkan oleh sang orang tua.

Ada pula anak yang berbakti kepada orang tuanya sudah menapaki usia senja dengan niat mennginginkan harta tinggalan yang lebih. Memang, orang tua yang diperhatikan tentu akan merasa tenteram dan senang dengan anak yang lebih memperhatikannya. Kadang terjadi, orang tua yang seperti ini kemudian tidak menuruti syariat Allah Ta’ala dalam hal warisan. Anak yang lebih memperhatikan, mereka beri harta peninggalan yang lebih daripada anak yang lain. Ini benar-benar terjadi di masyarakat kita.

Kadang ada anak yang berbuat baik terhadap orang tuanya hanya dengan bermodal kasihan semata. Ada juga yang melihat berbakti kepada orang tua saat mereka muda dulu. Orang-orang yang seperti ini kadang tidak melihat berbakti kepda orang tua sebagai kewajiban dan perintah Allah Ta’ala. Mereka melakukannnya dengan niat balas budi semata. Hendaknya kebaikan besar seperti ini tetap diniatkan karena Allah Ta’ala. Walaupun memang tidak bisa disangkal ada unsur membalas kebaikan dan rasa kasihan terhadap orang tua, sedapat mungkin amal birrul walidain diniatkan ikhlas karena Allah Ta’ala.

Satu amal yang ikhlas merupakan harta yang tak ternilai bagi kita. Sedapat mungkin hal-hal yang mengancam keikhlasan kita singkirkan.

 

TAAT DALAM PERKRA MAKSIAT

Beberapa orang tua tidak begitu paham masalah agama. Ini adalah kenyataan yang tak bisa disangkal. Orang tua tipe ini banyak terdapat di masyarakat. Dengan latar belakang yang demikian, orang tua yang seperti ini banyak terdapat di masyarakat. Dengan latar belakang yang demikian, orang tua yang seperti ini berpeluang melakukan kesalahan dalam masalah agama. Kadang-kadang kesalahan tersebut berupa perintah atau permintaan kepada anaknya. Misalnya adalah menyuruh anaknya melakukan perkara maksiat atau menentang ketika anaknya melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena tekanan dari pihak orang tua, kadang yang terjadi, anak pun menurut begitu saja. Dalih pun dibangun, yaitu untuk menyenangkan orang tua, bahkan perbuatan tersebut mereka anggap berbakti kepada orang tua.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua, namun ketika orang tua tersebut mengajak kita untuk menyembah selain Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala melarang kita untuk mengikuti mereka berdua, dengan tetap mempergauli keduanya dengan baik.

Terhadap kemaksiatan selain syirik, tentu juga demikian. Hendaknya yang kita lakukan adalah tetap teguh memegang aturan Allah Ta’ala dengan tetap berbuat baik terhadap orang tua dan menjelaskan sikap kita terhadap orang tua dengan penjelasan yang baik dan lemah lembut.

 

TIDAK MENDAKWAHI

Ada anak yang begitu baik dalam hal berbakti kepada orang tua. Perhatiannya terhadap orang tua begitu besar. Orang tuanya dikondisikan untuk menjalani kehidupan serba enak dan tenteram. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan orang tua, ia ambil alih, atau ia sewa pembantu rumah tangga untuk melakukannya. Singkat kata, si anak menginginkan agar orang tua hidup bahagia di masa tuanya. Ia pun ingin berbakti sebaik-baiknya terhadap ortunya.

Namun, ada yang tertinggal dalam baktinya kepada orang tua. Ia tidak mengajak orang tuanya untuk beribadah dan taat kepada Allah Ta’ala. Dengan baktinya, hidup orang tua indah dalam hal dunia, namun gersang dalam hal akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia suka jika saudaranya mendapatkan apa yang ia sukai bagi dirinya.” (Al Hadits)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tentu sesuai jika kita terapkan lebih dulu terhadap kita dan orang tua. Jika kita menyukai akan ketaatan kepada Allah Ta’ala, tentu kita juga suka jika orang tua kita taat kepada-Nya.

Jangan sampai kita aktif berdakwah kesana kemari, mendakwahi orang tua orang lain, tapi orang tua di rumah sendiri dilupakan. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari hal ini. Jadi, berbakti kepada orang tua juga harus diiringi dengan membimbing orang tua untuk mepersiapkan akhiratnya dengan baik.

 

 

Dikutip dari majalah Elfata edisi 11 Volume 06 tahun 2006, hal 18-21, by Abu Ukasha

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menjemput Surga dengan Orang Tua

Dalam ayat-Nya yang mulia, berbakti kepada orang tua memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia. Bahkan hal itu menjadi hak terbesar setelah hak Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam yang wajib kita tunaikan. Allah Ta’ala berfirman,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.  Dan berbuat baiklah kepada dua orang.” (An Nisaa: 6).

Mengapa Allah menggandengkan perintah berbuat baik kepada orang tua dengan perintah terbesar yaitu mentauhidkan-Nya? Tentunya, tak lain karena bakti kepada orang tua memiliki urgensi yang begitu tinggi.

Simak pula perintah Allah Ta’ala,

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (Luqman: 14)

Ketinggian posisi birrul walidain ini semakin dikokohkan oleh sebuah hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya , “Saya pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Kemudian apa?” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya, “Kemudian apa?” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jihad fisabilillah..” (HR. Bukhari-Muslim).

 

PINTU TENGAH SURGA

Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa orang tua merupakan pintu surga paling tengah bagi anak-anaknya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Terserah kehendakmu apakah menyia-nyiakan pintu itu ataukah memeliharanya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Memang, begitu agung dan besar jasa orang tua kepada kita. Hingga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan deskripsi di dalam sabdanya, “Seorang tidak bisa membalas budi oran tua kecuali bila ia mendapati orang tuanya itu menjadi budak, kemudian ia membeli dan memerdekakannya.” (HR. Muslim 1510)

 

CARA BERBAKTI

Berbakti kepada orang tua bagi seorang anak merupakan hal yang bersifat niscaya. Karena Allah Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut kepada para hamba-Nya. Di samping itu, berbakti kepada orang tua menjadi salah satu upaya kita dalam meraih surga. Yang jadi pertanyaan besar, bagaimanakah cara kita berbakti kepada orang tua, ketika keduanya masih hidup atau sudah meninggal.

  1. Berkata lembut dan berlaku baik. Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk senantiasa bertutur kata yang lembut dan penuh kesantunan kepada orang tua. Perkataan yang lembut tercermin dalam ucapan yang baik, tidak kasar, dan ucapan yang mengandung kemuliaan, yakni bersih dari segala cacat dan aib. Allah Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘uff(huh)’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra’: 23)

Berkenaan dengan firman ini, Al Qurthubi mengatakan, “…maksudnya janganlah kalian berbicara kepada orang tua dengan ucapan yang mengandung isyarat kemarahan, sekalipun sedikit.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang larangan berkata ‘huh’ kepada keduanya, yang secara tingkatan adalah ucapan yang paling ringan. Bagaimana dengan tindakan yang lebih dari itu, yakni berlaku kasar dalam perbuatan?! Tentunya larangan lebih keras lagi.

  1. Merendahkan diri.

Allah Ta’ala berfirman, “…dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan..” (Al Isra’: 24)

Maksud dari sikap merendahkan diri di sini adalah bersikap tawadhu’ dan tidak mencegah kedua orang tua dari perbuatan yang mereka sukai. Dapat pula mengandung arti merendahkan diri adalah dengan selalu memberikan sikap kasih sayang dan sikap patuh seperti patuhnya budak kepada pemiliknya atau patuhnya rakyat kepada pemimpinnya sebagaimana perkataan Imam Qurthubi dalam tafsirnya.

  1. Menambah hormat ketika mereka lanjut usia. Kondisi orang tua yang telah mencapai lanjut usia mesti diistemawakan. Karena dalam kondisi itu keduanya telah  berubah menjadi lemah dan renta. Mengingat kondisi seperti ini, orang tua sangat butuh perawatan dan pelayanan anak sebagaimana kondisi anak yang sangat butuh  perawatan orang tua semasa kecilnya.
  2. Memohonkan kasih sayang kepada Allah Ta’ala untuk keduanya. Salah satu bentuk bakti kepada orang tua adalah mendoakan mereka agar senantiasa mendapat kasih sayang dari-Nya.
  3. Memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala bagi keduanya semasa hidup maupun setelah keduanya wafat.
  4. Melunasi hutang keduanya.
  5. Mengeluarkan sedekah jariyah untuk keduanya. Suatu ketika ada seorang pria (yang ibunya telah meninggal) mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, “Apakah ada manfaatnya apabila saya bersedekah untuknya (ibu)?” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Maka ia pun menyedekahkan kebun yang sedang berbuah untuk ibunya.” (HR. Bukhari)
  6. Menyambung silaturrahim dan bergaul dengan baik kepada sanak famii, orang tua, dan orang-orang yang berhubungan baik dengan orang tua semasa hidup mereka.
  7. Menjaga nama baik keduanya dengan melakukan ketaatan di jalan Allah Ta’ala.

 

Dikutip dari majalah Elfata edisi 11 Volume 06 tahun 2006, hal 14-15 by Abu Azzam

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Sepakbola? Lupakan dengan Segera!!

Judul di atas mungkin terkesan sangar bagi para football lovers. Terkesan memaksa mereka untuk membuang jauh-jauh hal yang amat mereka gandrungi dan tentu jawabannya: TIDAK MUDAH!!

Baik, aku kisahkan sedikit tentang masa laluku. Kira-kira di tahun 2005, aku mulai gandrung dengan olahraga yang umumnya digeluti kaum Adam ini. Eits, bukan gandrung melakukannya, tapi gandrung menontonnya. Gandrung untuk bertahan berjam-jam di depan TV sekedar untuk menonton 2 team yang berebutan 1 bola kesana kemari. Sungguh perbuatan yang sia-sia atau bahkan penuh dengan maksiat. Astaghfirullaah. Jika aku menoleh masa laluku, ‘ngeri’ rasanya mengingat keparahanku menggilai menonton bola dan berharap aku tak pernah lagi terjerembab ke dalam kubangan yang sama. Mulai dari mengumpulkan tabloid Soccer, poster demi poster bahkan pernah terkesan mendewakan pemain, padahal pemain itu non muslim (!), debat tentang sepakbola, gabung dengan komunitas supporter, dan aku sempat merogoh kocek yang ‘lumayan’ bagi ukuranku kala itu, membeli jersey, merchandise, dll. Parah sekali. Uang demi uang tercucurkan bukan untuk ketaatan kepada Allah Ar Rahmaan. Tapi alhamdulillah tidak pernah taruhan dan rela berdesak-desakkan di stadion. Jangan sampai!!

Alhamdulillaah, Allah Ta’ala sangat menyayangiku. Aku sangat rasakan itu. Padahal kasih sayang itu kerap diri ini balas dengan maksiat kepada-Nya. Betapa malunya diri ini kepada Allah Ta’ala. Entah berapa kali diri ini membuat-Nya cemburu karena pembangkangan-pembangkangan yang diri ini lakukan kepada-Nya. Na’am, Allah Ta’ala menyayangiku dengan merapatkan hidayah dan taufiq-Nya kepadaku. Allah Ta’ala benar-benar Maha Pembolak-balik hati. Sangat mudah bagi Allah Ta’ala menjadikan hati ini yang pada mulanya kepada sepakbola amat cinta, berubah menjadi amat benci. Ditambah setelah diri ini tahu bahwa sepakbola adalah alat konspirasi zionis Yahudi. Tambah murakkab saja benci ini.

Tadi malam, saat diri ini terserang insomnia, diri ini menyiksa mata ini untuk menyimak TL di twitter dengan harapan ia cepat merasakan kekantukan hingga aku dengan mudah kembali ke peraduan. Dari sekian TL, yang membuatku penasaran dan terus penasaran hingga aku menelusuri TL demi TL adalah tentang kasus pengeroyokan supporter yang terjadi di GBK beberapa hari lalu. Waktu berita tentang hl ini tengah IN di TV, aku tak begitu memperhatikan secara seksama. Malas, pikirku. Malas menyimak berita sepakbola karena hanya membuat memori ini berkelana ke masa lalu. Begitu dan begitu. Tapi entah kenapa, tadi malam diri ini dibuat penasaran oleh kejadian mengenaskan itu. Seolah muncul kasihan pada sang korban, dan kegeraman pada sang pelaku pengeroyokan. Ingin kukatakan pada saudara-saudaraku yang masih merelakan dirinya untuk tersibukkan dengan sepakbola, “CUKUPKAN SAMPAI DI SINI SAJA RASA CINTA KALIAN KEPADA SEPAKBOLA! CUKUP INI YANG TERAKHIR, SEPAKBOLA MEMAKAN KORBAN. JANGAN KALIAN TEROMBANG-AMBING, TERPECAH BELAH KARENA SEPAKBOLA. BOLEHLAH KALIAN MENJADIKANNYA SEBAGAI OLAHRAGA UNTUK MENJAGA KESEHATAN, TAPI TOLONG, JANGAN SAMPAI SIKAP FANATIK KARENA MEMBELA KLUB TERTENTU MENJADIKAN HATI KALIAN MENGERAS DAN MATI HINGGA TEGA MENUMPAHKAN DARAH! LUPAKAN SIKAP FANATIK ITU. SEPAKBOLA HANYA OLAHRAGA DAN ITU CUKUP!!!”

Diri ini tak mengetahui secara detail bagaimana kejadian itu sebenarnya. Membaca TL demi TL saja diri ini sudah mampu menangkap bahwa betapa mengerikannya kejadian itu. Dimulai dengan adanya rekaman video. Dimana hati pelaku pengeroyokan itu hingga mereka tega mengabadikan pengeroyokan itu dalam bentuk video? Sungguh biadab! Yang aku tahu memang supporter kala itu yakni Viking dan The Jak merupakan musuh bebuyutan. Keduanya memang supporter fanatik terhadap klub masing-masing. Yang aku tahu juga, kerap terjadi bentrokan antara keduanya. Sampai kapan kawan? Sampai kapan atas nama kefanatikan engkau telah menumpahkan darah sesamamu? Apalagi jika darah itu adalah milik seorang Musim, sungguh terlarang untuk menumpahkannya! Mari sama-sama taubat wahai kawan sebelum nafas sampai di kerongkongan. Engkau akan menyesal pada akhirnya jika engkau tersadar bahwa kita hanyalah diadu domba dengan boneka bernama sepakbola. Buka hati, mata, telinga agar engkau tersadar dari tidur panjangmu!

Dulu aku juga merasakan sulit untuk melupakan sepakbola. Ketahuilah, perasaan sulit itu karena hawa nafsu kita, karena hati kita masih dipenuhi dengan berbagai macam penyakit. Setelah engkau berhasil melupakan sepakbola dengan perolongan Allah tentunya, engkau akan merasakan ketenangan yang luar biasa sebagaimana yang kurasakan. Engkau akan menyadari bahwa betapa engkau selama ini terbelenggu saat dadamu dipenuhi fanatik pada hal-hal semu. Bagiku, merdeka adalah saat kita terbebas dari penyakit fanatik terhadap hal-hal semu tersebut termasuk pada sepakbola. Merdeka pula adalah ketika diri mampu melepas penisbatan-penisbatan tak penting seperti penisbatan pada nama supporter klub tertentu.

 

Bintu Abi Ja’far

10 Rojab 1433/31 Mei 2012

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Cinta yang Sempat Terjeda itu, Kini Utuh Kembali

Sekitar sebulan yang lalu, cinta 2 orang insan sempat retak. Cinta 2 orang insan yang sebelumnya sangat erat ditambah mereka adalah kerabat, berasal dari tulang sulbi yang sama, sempat terjeda karena kesalahpahaman.

Dua orang itu adalah aku dan adikku. Aku amat menyayanginya karena Allah Ta’ala. Tapi apalah daya, tatkala maksud hati tak diterjemahkan dengan tepat oleh sang lisan, tatkala maksud hati, tak disampaikan dengan benar oleh sang sikap. Kesalahpahaman. Itulah akhirnya yang terjadi. Tentunya hal itu sangatlah tidak kuharapkan.

Kala itu, bagiku adalah kesalahpahaman terhebat dalam hidupku. Betapa tidak, bermula dari kata-kataku, menjadikan adikku tersinggung, kemudian berderai air mata dari pipi beberapa insan. Menelan banyak ‘korban’. Itulah pikirku. Bermula dari perselisihan 2 kepala, menjadikan gemuruh seisi rumah. Betapa berdosanya diri ini. Bermula dari lisan ini. Faghfirliy yaa Robbiy.

Aku tidak akan menceritakan dengan detail, apa yang membuat lisan dan sikapku menjadi tak terkendali kala itu. Bagiku cukup kusimpan saja sebagai masa lalu. Aku tidak berkenan mengungkitnya lagi karena khawatir membuka kembali luka lama yang telah mengering. Aku tak ingin cinta itu terjeda lagi. Sangat-sangat tak ingin.

Dari kejadian itu, aku bisa mengambil banyak sekali ‘ibroh. Termasuk kian memahami karakter adikku. Tentunya aku tak ingin kembali terjatuh kepada lubang yang sama. Pada malam harinya, kugerakkan jari jemariku untuk mengetik kata demi kata di HPku untuk kukirimkan kepadanya. Karena pada waktu itu, sejatinya masih banyak hal yang ingin kusampaikan kepadanya. Tapi aku khawatir, jika kusampaikan secara lisan, kesalahan yang sama terulang kembali. Aku berpikir, jika kusampaikan melalui tulisan, aku lebih bijak dalam memikirkan apa saja yang perlu kusampaikan kepadanya, hingga sang adik bisa menerima dengan lapang dada. Berlayar-layar sms kukirim padanya. 1-2 hari ia masih belum mampu memaafkanku secara total. Aku memahami itu. Apalagi konflik itu melibatkan banyak pihak termasuk sang ibunda. Adikku sangat-sangat menyayangi ibu. Karena kekalutan pikirannya kala itu, dan aku yang tak mampu mengendalikan sikap dan lisanku, ia menyangka aku juga berniat melukai hati ibu. Padahal sekali-kali tidak demikian maksudku.

Pada hari ketiga, sang adik menghampiriku. Keluar kata-kata dari lisannya yang membuatku menghela nafas lega. Ia meminta maaf kepadaku dan ia berjanji, tidak akan melakukan lagi perbuatan yang amat aku benci itu. Aku juga meminta maaf kepadanya karena ketersalahan sikapku dalam menasihatinya. Maksud hati ingin agar ia tak terjerembab kepada hal-hal yang tercela, tapi lisan dan sikap ini tak mampu menterjemahkan dengan benar apa maksu hati, hingga bermuaralah pada kesalahpahaman itu. Memang wajar, seorang kakak ingin yang terbaik untuk adiknya, tapi sang kakak juga harus bijak dalam menasihati dan tak ada kesan memaksa. Itulah pelajaran yang bisa kuraih dari kejdian itu.

Tapi kini, alhamdulillaahilladziy bini’matihi tatimmushshoolihaat, cinta yang sempat terjeda itu telah utuh kembali. Ini semua karena pertolongan Allah Jalla wa ‘Alaa. Semoga Allah Ta’ala tak henti mengisi dada kami dengan keimanan agar kami bisa bijak dalam menghadapi setiap permasalahan.

 

Bintu Abi Ja’far

8 Rajab 1433 H/ 29 Mei 2012

Bumi Alloh Ta’ala

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Serumit itukah Menyelaraskan antara Lisan dengan Hati?

Baiklah, kuawali cerita ini dengan mata kuliah jam pertama tadi. Mata kuliah yang membuatku berkali-kali mengernyitkan dahi. Mata kuliah yang membuatku berkali-kali merasa keki. Mata kuliah yang membuatku berkali-kali merasa ingin segera mengakhiri semester bahkan kuliah ini. Yups, itulah mata kuliah filsafat. Mata kuliah yang dalam pandanganku menghancurkan banyak pihak. Menjerumuskan banyak pihak kepada -maaf- kesesatan. Mata kuliah yang mengobrak-abrik tsaqofah pada jiwa yang baik pada mulanya. Hmm..entahlah, sepertinya aku tak punya celah untuk memberi penilaian positif pada filsafat, mata kuliah yang membuatku gerah. Ditambah argumen-argumen ulama’ terdahulu yang memberikan justifikasi negatif pada mata kuliah ini, semakin melengkapi rasa ketidaksukaanku pada mata kuliah ini. Buat apa mengagumi para filosof, sementara di sisi lain seolah melupakan peran salafushsholih, 3 generasi awal ummat ini, 3 generasi emas?

Baik, kembali kepada permasalahan awal. Jadi di jam pertama tadi, aku ‘terpaksa’ mengikuti mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Kenapa kukatakan terpaksa? Bisa dilihat dari penilaianku terhadap matkul ini di paragraf pertama. Na’am, selalunya merasa hanya asal masuk saja ketika mendapati matkul ini. Apalagi jika pembahasannya terasa menyesakkan dada, serasa ingin segera mangkir dari kelas saja. Tadi, pada matkul ini, sang dosen mengawali dengan meminta kami untuk mengeluarkan selembar kertas. “Hah, kuis mendadak? Aku kan ndak pernah belajar?” gemuruh hati ini. Kemudian kata-kata terlontar dari lisan beliau yang intinya beliau ingin kami menuliskan kesan, kritik dan saran kepada beliau selama beliau mengajar kami. Lega sekali rasanya karena dugaan hatiku salah. Bukan ulangan mendadak, tapi penilaian mendadak 😀

Pada awalnya aku bingung, stuck sekali, apa yang harus aku tulis? Tentunya kebingunganku itu berkorelasi erat dengan ketidaksungguhanku setiap kali mengikuti matkul ini. Apa yang harus aku nilai, sementara selalunya aku asal masuk saja tiap matkul ini? Begitulah kata-kata itu menari-nari dalam pikiranku. Akhirnya jari-jemariku bekerja juga. Menggerakkan pena untuk menuangkan tintanya di atas kertas putih dengan harapan kertas itu penuh isi, penuh dengan baris kata yang setidaknya bisa dibaca oleh sang dosen. Tak kusangka, seiring berjalannya waktu, tanganku begitu lincah bin lancarnya menggoreskan kata demi kata di atas kertas itu. Hingga kutersadar bahwa aku hampir menulis 1 halaman kertas bigboss. Laa ilaaha illallah. Tentunya ini atas kuasa Allah Ta’ala. Ide-ide yang sebelumnya sulit muncul, oleh Allah Ta’ala dijejalkan ke dalam otakku, hingga temanku menegurku agar aku tak terlau banyak menulis. Tapi terus saja jari-jemariku bereaksi menarikan penaku di atas kertas itu.

Setelah selesai kutuang sedikit tinta penaku diatas kertas itu, aku bersama teman-temanku, memberikan tulisan masing-masing kepada sang dosen.

Yang membuatku sedikit tenang, sang dosen akan menerima apapun kritikan kami dengan lapang dada. Bahkan beliau juga mengungkapkan bahwa beliau lebih menyenangi kritikan yang pedas tapi membangun, daripada pujian yang jusru melenakan beliau. Dan beliau juga berjanji, tidak akan mengancam masalah nilai meski kritikan itu menyayat hati. Menambah kelegaanku. Setelah aktivitas itu, kami diberi tugas lain oleh sang dosen. Di sela-sela kami berkutat dengan tugas, sesekali aku melihat ke sang dosen. Ternyata beliau tengah membaca kertas-kertas dari kami tadi. Kudapati beliau membacanya dengan senyum-senyum. Tentunya aku kian tenang, berarti sesuai dengan yang beliau katakan tadi, bahwa beliau bisa menerima dengan dada lapang segala kritikan.

Berakhir sudah kuliah hari itu. Tapi tidak berakhir begitu saja. Ada alasan yang mendorongku untuk membagi cerita ini.

Di penghujung jam pertama, sang dosen menyampaikan tanggapannya kepada kami terkait dengan kritikan-kritikan kami kepada beliau. Aku tak mampu mengingat semua kata-kata beliau. Hanya yang mampu kuingat jelas, beliau menanggapi kritikan-kritikan kami dengan berkata-kata dan wajah beliau tampak muram. Berbeda dari biasanya. Kemudian beliau langsung memberi tugas individu kepada kami. Tak seperti sebelum-sebelumnya yang seolah beliau ragu bahkan terkesan tak tega untuk memberi tugas secara individu kepada kami. Di akhir kelas pun aku dan teman-teman meributkan perubahan drastis beliau, “Kok begini ya bla bla bla.. Katanya ga bakal bla bla…” Duh lisan, tak sadarkah engkau saat itu engkau tengah mengghibah atau bahkan memfitnah saudaramu? Hiks, peyesalan selalunya di akhir. Memang saat emosi tak terkendali, lisan pun jadi lepas kendali. Tapi tentunya ini tak bisa dijadikan alibi.

Kemudian sejenak aku teringat dengan kritikanku kepada beliau. Aku pikir-pikir ulang, kata-kata apa saja yang telah kugoreskan untuk beliau. Setelah aku pikir dengan kepala dingin, aku merasa kritikanku terlalu berlebihan dan terkesan menantang. Secara implisit pun aku meminta beliau untuk memberi tugas kepada kami. Kala menuliskan kata-kata itu, seolah tanpa beban di otakku. Tapi berbeda sekali tatkala kata-kata perintah untuk membuat tugas terlontar dari lisan sang dosen. Deg! Bukankah berati aku naif? Munafik? Astaghfirullaah. Bukankah itu berarti aku belum bisa menyelaraskan antara hati dan lisanku? Bukankah berarti aku belum bisa jujur secara total? Bukankah berarti aku termasuk orang yang berkepentingan? Sebagaimana yang Ustadz Faiz hafidzohulloh jelaskan bahwa orang yang berkepentingan akan sulit jujur T.T Padahal aku sangat memerangi kebohongan!! Pertanyaan-pertanyaan itu terus menari-nari dalam pikiranku. Dan itu baru kusadari setelah berjam-jam setelah selesai matkul itu. Berawal dari setibanya aku di rumah sepulang kuliah (rumah memang benar-benar tempat yang nyaman karena ada orang tua yang sangat penyayang hingga setiap masalah bisa terselesaikan dengan tenang), aku tersadar bahwa aku telah berbuat kesalahan. Awal ketersadaranku, aku merasa mendzolimi teman-temanku lantaran kritikanku kepada sang dosen hingga kami ‘dibebani’ tugas itu. Kemudian kubergegas meraih HP dan kugerakkan jari-jemariku untuk mengetik kata demi kata di layar sms. Sekitar 2 layar yang intinya berisi kata maafku dan hikmah apa yang bisa dipetik dari kejadian tadi. Sejenak kemudian kukirim sms itu kepada 4 temanku yang sekiranya menurutku mereka bisa menangkap maksudku. Termasuk teman sebangkuku tadi yang sempat menegurku agar aku tak menulis terlalu banyak di lembar kritikan itu. Hiks, maaf  kawan, teguranmu kuabaikan. Penyesalan selalu di belakang. Dan alhamdulillah, Allah Ta’ala menyadarkanku agar aku bermuhasabah, bahwa aku juga salah, bahwa aku tak boleh menggerutu menyalahkan sang dosen. Alhamdulillah, kesadaran seperti ini sungguh luar biasa karena bisa mendamaikan hati. Tentunya itu semua adalah anugerah dari Allah Jalla wa ‘Alaa. “Jangan suka menyalahkan orang lain!” nasihat Ustadz Farid hafidzohulloh itu juga kembali terngiang-ngiang di telinga. Itu juga karena kehendak Allah ‘Azza wa Jalla untuk mengingatkan diri ini agar tak terlalu idealis, agar tak terlalu tajam dalam mengkritik orang lain, namun tumpul dalam mengkritik diri. Wal’iyaadszu billaah.

Diri ini tidak lagi bermaksud menyalahkan sang dosen. Tapi diri ini ingin mengambil pelajaran dari sikap sang dosen tadi. Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa diri ini ambil yang bisa menjadi bekal berharga kedepannya in syaa Allah:

  1. Janganlah menantang meminta dikritik jika belum siap menerima kritikan dengan dada lapang. Bisa jadi lisan mengatakan bahwa diri bisa menerima kitikan apapun dengan legawa, tapi ketahuilah, raut muka tak bisa berdusta. Raut muka adalah manifestai dari hati. Lisan boleh jadi mengatakan hal yang berseberangan dengan hati. Tapi raut muka, ia kerap seiya sekata dengan hati.
  2. Saat diri meminta kritikan, jangan dengan konfidensi tinggi mengatakan, “Saya yakin mampu menerima kritikan apapun.” Ingat wahai saudaraku, hati berada di genggaman Allah Ar Rahmaan. Dan Dia berhak membolak-balikkannya. Katakanlah saat engkau meminta kritikan, “Semoga Allah melembutkan hati ini hingga ia siap menerima kritikan apapun. In syaa Allah saya siap engkau kritik wahai saudaraku.”

Terakhir saya ingin mencoba menjawab pertanyaan judul di atas. Serumit itukah menyelaraskan antara lisan dengan hati? Tentu tidak! Bagi siapa? Bagi sesiapa yang Allah Ta’ala lembutkan hatinya, bagi sesiapa yang Allah Ta’ala bersihkan hatinya dari segala penyakit, bagi sesiapa yang Allah karuniai hidayah dan taufiq untuk selalu ikhlas karena-Nya dalam segala kebaikan yang ia lakukan. Karena itu, betapa pentingnya kita memohon untuk senantiasa dikaruniai hidayah dan taufiq oleh Allah Jalla wa ‘Alaa. Nas-alullohal ‘afwa wal ‘aafiyah. Yaa muqollibal quluub, tsabbit olibiy ‘alaa diinik. Aamiin.

 

Bintu Abi Ja’far

10 Rojab 1433 H/31 Mei 2012

Bumi Allah Ta’ala

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Sakit yang Tak Terdefinisi

Sakit yang tak terdefinisi!!!! Mungkin itulah kata yang akan hati ini katakan sendainya hati ini mampu berbicara. Tiap kali kumasuki kelas kala mata kuliah itu, selalunya hati ini berharap pada Rabb agar sang dosen berhalangan hadir. Begitu dan begitu seterusnya. Taukah engkau, mata kuliah apa yang kumaksud? Ya, fisafat. Tepatnya filsafat pendidikan Islam. Seandainya kata filsafat dihilangkan, mungkin aku bisa menyukai mata kuliah itu. Tapi dengan embel-embel filsafat, terasa enggan diri ini berlabuh di kelas tiap Rabunya. Setiap kurampungkan diri ini mengikuti mata kuliah itu dengan segala keterpaksaan, senantiasa dada ini terasa sesak. Selalunya ada kata-kata yang dosen katakan yang sangat menyayat hati ini. Begitu dan begitu seterusnya. Belum lagi sembuh luka lama, bak garam ditabur kembali di atas luka itu. Perih!!!!!! Sungguh perih.

Hari ini lagi-lagi aku pulang dari penggembaraan dengan hati tersayat-sayat. Memang dosen itu tak menyindirku secara lagsung, tapi entah mengapa, terasa sakit sekali hati ini. Baiklah, kupaparkan secara gamblang saja kata-kata apa yang ia lontarkan hingga hati ini terasa kembali terluka. Pada saat beliau menjelaskan tentang idenitas Islam, beliau hanya menekankan pada sikap dan akhlak. Tak memberi penekanan kepada jilbab, sholat, dan syariat-syariat yang lain. Padahal Islam itu universal. Mungkin aku masih bisa memaklumi itu,  namun terasa sakit saat beliau mengatakan “Jadi orang itu biasa-biasa sajalah. Ndak usah kelihatan alim. Ndak perlu orang lain tahu hubungan kita dengan Tuhan.” Memang seolah-olah kata-kata itu sungguh indah, tapi aku merasakan seperti ada syubhat di dalamnya. Entah ini benar atau tidak. Tapi memang setiap pertemuan senantiasa kutangkap kata-kata aneh dari beliau. Bahkan kadang terkesan liberal bagiku. Padahal  jika engkau tahu, virus liberal merupakan virus yang sangat aku perangi.

Sedari awal, aku memang merasakan bahwa hatiku seolah ingin memasang permusuhan dengan mata kuliah ini. Apalagi melihat dosennya berbeda dengan dosen sebelumnya. Kian membuatku sinis. Jika yang mendampingi mata kuliah ini adalah dosen sebelumya mungkin aku masih bisa menoleransi karena aku sudah paham karakter beliau. Tapi dengan dosen kali ini, aku benar-benar tak mampu lagi memberi celah untuk bertoleransi kepada beliau. Bahkan terkadang terbesit dalam dada ini keinginan untuk mengakhiri saja kuliahku, namun setelah kuberpikir panjang, ada beberapa mata kuliah yang penting untuk kukais ilmunya.

Yaa Rabb, berila hidayah kepada dosen filsafatku kali ini.  Aamiin yaa Allaah.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar